Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia, nama yang terdiri dari dua kata sansekerta, panca berarti lima dan sila berarti asas atau prinsip. Sehingga pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat indonesia.
Selama bersekolah di Indonesia apapun jenis sekolahnya baik negeri hingga swasta sekalipun dapat dipastikan memiliki pigura cantik pancasila sebagai hiasan dinding diatas papan tulis setiap kelas. Yang pasti akan terlihat setiap kali memandang kedepan, setiap hari, setiap minggu bahkan bertahun-tahun hingga lulus dari sekolah menengah atas (SMA), burung garuda gagah itu tidak pernah berhenti menatap para generasi masa depan penerus bangsa ini. Tidak hanya sebatas itu, tetapi hampir setiap Senin pagi selalu dibacakan butir demi butir ayat tersebut walaupun penuh pengorbanan, rasa capek, kepanasan, bosan, bahkan rasa dingin dibawah guyuran gerimis di pagi hari.
Mungkin merupakan suatu ironi yang menyedihkan, banyak dari peserta didik atau hampir seluruhnya tidak mengerti, apa maksud dari esensi ini semua. Kalau boleh jujur, saya dengan segenap rasa malu sebagai orang Indonsesia mengakui, “saya adalah bagian dari mereka”. Mungkin juga anda, yang akan senyum-senyum sendiri mengakuinya didalam hati, “Yaaa!, kita sama”. Syukurlah, kita masih “Indonesia”, masih ada kesamaan diantara kita, walaupun mungkin merupakan suatu hal yang memalukan, kita tidak paham jati diri kita, siapa kita sebagai manusia berbangsa secara utuh.
Selama mengenyam pendidikan, diri kita sendirilah yang salah atau bahkan disalahkan oleh guru maupun orang tua jika tidak paham atau hafal dengan pancasila. Padahal menghafalnya membutuhkan waktu berjam-jam, tetapi hilang begitu saja dan tidak membekas hanya dalam waktu yang singkat.
Apa yang salah dengan diri kita?
Salah satu dari lima sendi kehidupan yang mendasari bangsa ini adalah sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Saya kembali teringat akan sebuah film 3 hati 2 dunia 1 cinta, dalam salah satu scene film tersebut diceritakan bagaimama seorang pemuda bernama Ocid, guru sukarelawan, mengajajarkan butir-butir pancasila kepada anak-anak jalanan. Sontak pada sila kelima, mereka bersorak kompak “adiiiillll gaaak yaaaahh???!!”.
Masihkah secara individu yang harus dipersalahkan?
Wahai mantan guru ku, bukan maksudku untuk membangkang atau melawan, engkau pasti punya hati nurani, engkau pasti paham, tentang apa yang terjadi sebenarnya, aku yakin, engkau perih sewaktu memarahiku yang tidak pernah paham pancasila ini, “utuh”.
Sudah sangat lazim bahwasanya suatu hal yang membekas dan dapat memberikan ingatan jangka panjang jika hal tersebut terjadi secara nyata atau langsung memberikan efek kepada manusia tersebut, dapat berupa hal yang baik maupun buruk, katakanlah sebuah pengalaman hidup yang langsung menyentuh terhadap alam bawah sadar.
Seorang ilmuan dalam bidang kejiwaan Sigmund Freud (1856-1939), menyatakan dalam sebuah teori yang cukup terkenal, bahwasanya “alam bawah sadar mengendalikan sebagian besar perilaku manusia”.
Cara pandang sebelah mata terhadap sila ke lima khususnya, kemungkinan besar merupakan suatu perintah langsung yang berasal dari suara terdalam diri kita, pengalaman hidup atau alam bawah sadar yang jujur untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Sebuah suara kejujuran, bebas akan syarat kemunafikan lebih tepatnya.
Pada sebuah pergelaran seni bertajuk Kartolo Mbalelo yang berlangsung di Jakarta beberapa waktu lalu, Mahfud MD yang merupakan ketua Mahkamah Kontitusi berujar dalam sebuah lakon, “Kita dalam bahaya. Kalau keadaan begini terus, lama-lama akan ambruk”
Agaknya lakon tersebut bukan merupakan suatu hisapan jempol belaka, melainkan mencermikan suatu hal yang sedang terjadi di bangsa ini. Suatu bentuk ke tidak seimbangan hidup antara saudagar, pemangku kepentingan, dan rakyat jelata.
Begitu banyak ketidakadilan yang terjadi sehingga berujung terhadap semakin terhimpitnya rakyat sebagai kaum yang lemah.
Semakin lantang orang-orang, aktifis, pembela negara, mahasiswa pencinta Indonesia meneriakan keadilan, semakin tinggi monumen konspirasi petinggi dan pengusaha yang berdiri sombong memagari luapan lumpur di Sidoarjo, semakin mudahnya para koruptor kelas kakap berkeliaran bahkan kabur sementara rakyat jelata mendekam di penjara karena maling bahan kebutuhan pokok. Puluhan bahkan mungkin ratusan bangunan sekolah tidak layak, tapi mengapa hanya bangunan gagah-gagahan yang dipergunakan untuk tidur atau sekedar mengobrol lantur tidak jelas yang diperhitungkan prospek pembangunanya.
Apa yang sedang terjadi di Indonesiaku saat ini, siapakah yang seharusnya dipersalahkan telah melecehkan pancasila?
Cuma hati nurani yang bisa menjawab.
Surabaya, 4 Juli 2011
No comments:
Post a Comment